Siaran Pers - Lindungi Anak dari Eksploitasi dan Perdagangan Orang: Usut Tuntas Kematian Anak 14 Tahun di Delta Spa
[24 Oktober 2025] - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Eksploitasi
Anak (KOMPAK) menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya seorang
anak perempuan berusia 14 tahun yang bekerja di Delta Spa, sebuah tempat spa dan pusat
kebugaran untuk laki-laki yang telah terdaftar secara resmi oleh dinas/kementrian terkait.
Kematian anak ini bukanlah insiden tunggal, tetapi cermin dari praktik eksploitasi anak,
kekerasan berbasis gender, dan perdagangan orang (TPPO) yang terjadi di ruang-ruang
yang seharusnya diawasi negara. Berdasarkan temuan lapangan dan informasi yang
diterima, korban diketahui mulai bekerja di Delta Spa sejak berusia 13 tahun. Korban
kemudian ditemukan meninggal dunia pada tanggal 2 Oktober 2025, dan masih berusia
14 tahun. Atas kejadian tersebut, keluarga korban telah membuat laporan polisi di Polres
Jakarta Selatan. Dalam proses yang sedang berjalan, ditemukan KTP dengan identitas
yang bukan milik korban, yang memperkuat dugaan terjadi pemalsuan identitas untuk
meloloskan perekrutan anak di bawah umur supaya legal secara administratif.
Laporan polisi yang sudah dilakukan oleh keluarga tempo hari, telah dicabut oleh
keluarga korban melalui surat permohonan yang dikirim ke Polres Jakarta Selatan per 13
Oktober 2025 lalu. Pencabutan laporan tersebut dilatarbelakangi oleh ‘kesepakatan
damai’ antara keluarga korban dan pihak pelaku. Namun, hal ini perlu dilihat secara
seksama dengan memerhatikan kondisi sosial ekonomi keluarga korban seperti dugaan
tekanan, akses informasi dan perlindungan hukum yang terbatas yang dapat menjadi
penghambat keluarga untuk mengakses keadilan yang subtantif.
Terlepas dari laporan keluarga yang telah memohon untuk mencabut laporan, hal
ini bukanlah alasan untuk memberhentikan proses hukum yang seharusnya tetap berjalan.
Aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat umum harus melihat fakta
bahwasannya meninggalnya korban adalah hasil dari ketiadaan sistem yang dapat
melindunginya dari eksploitasi dan keluarga korban merupakan indirect victim atau
korban tidak langsung yang tetap berhak untuk mendapatkan keadilan dengan adanya
pemenuhan restitusi dan kompensasi yang layak. Peristiwa ini menunjukkan absennya
negara melindungi hak anak, terutama hak anak perempuan. Pencegahan dan pengawasan
seharusnya menjadi hal integral sehingga peristiwa ini tidak terjadi.
Dengan peristiwa ini, kita tidak bisa menegasikan fakta bahwa terdapat anak yang
bekerja di tempat hiburan laki-laki dewasa merupakan pelanggaran HAM terhadap anak,
dengan indikasi kuat adanya unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pertama,
Kami melihat bahwasannya, peristiwa ini adalah kejahatan berlapis dan bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kasus kematian anak berusia 14 tahun yang bekerja
di Delta Spa merupakan bentuk kejahatan berlapis, akibat dari sistem eksploitasi
terorganisir yang melibatkan badan usaha dan lemahnya pengawasan negara. Lebih dari
itu, peristiwa ini juga melanggar komitmen internasional Indonesia sebagai negara pihak
pada Konvensi Hak Anak (CRC), CEDAW, serta Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor
182, yang mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi
ekonomi dan seksual.
Dalam hukum nasional, telah terjadi pelanggaran Pasal 76I Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yaitu pelarangan atas menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual
terhadap anak. Kasus ini juga diduga termasuk dalam kekerasan seksual yang dilakukan
oleh korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menyebutkan bahwa
korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila korporasi terlibat dan
memperoleh keuntungan dari tindak pidana. Kasus ini juga memenuhi unsur tindak
pidana perdagangan orang dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(TPPO), yang menegaskan bahwa perekrutan, penampungan, pengiriman, atau
penerimaan seseorang dengan penyalahgunaan posisi rentan atau penipuan untuk tujuan
eksploitasi termasuk TPPO.
Kedua, selain analisis hukum di atas, kami melihat adanya unsur dari
gagapnya negara dalam menjamin hak-hak anak, khususnya anak perempuan.
Kasus ini memperlihatkan tidak efektifnya negara dalam menjalankan fungsi pengawasan
dan penegakan hukum terhadap eksploitasi anak oleh badan usaha. Pengawasan
ketenagakerjaan hanya bersifat administratif, tidak menyentuh aspek perlindungan anak
dan gender. Penegak hukum kerap berhenti pada penyebab kematian, tanpa menelusuri
rantai eksploitasi dibaliknya. Selain itu, ketimpangan sosial-ekonomi keluarga korban
membuka ruang bagi perdamaian semu yang justru menutup jalan keadilan. Kondisi ini
memperlihatkan impunitas struktural pelaku dengan kekuasaan ekonomi dapat
menghindar dari tanggung jawab pidana melalui tekanan dan kompromi.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana kami uraikan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk
Penghapusan Eksploitasi Anak (KOMPAK) menyatakan:
1. Mendesak Direktorat PPA/PPO Bareskrim Polri untuk mengambil alih atau
memberikan asistensi langsung terhadap penyidikan kasus ini. Pendampingan
langsung diperlukan agar penyidikan dilakukan dengan perspektif perlindungan anak
dan gender, serta untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan. Langkah ini juga
penting untuk membongkar jaringan pelaku yang lebih luas, termasuk pihak-pihak
yang merekrut, memperkerjakan, dan memfasilitasi praktik eksploitasi anak di Delta
Spa.
2. Polres Jakarta Selatan, harus segera melakukan penyelidikan yang transparan,
akuntabel, dan berpihak kepada korban, dengan mempertimbangkan kerentanan
korban sebagai anak dan kondisi keluarga yang miskin secara struktural.
Penyelidikan tidak boleh berhenti pada penyebab kematian, tetapi harus menelusuri
secara menyeluruh dugaan tindak pidana perdagangan orang, eksploitasi seksual,
serta kekerasan berbasis gender yang terorganisir di balik perekrutan korban.
3. Polri harus melakukan ekshumasi (pemeriksaan ulang jenazah) guna memastikan ada
atau tidaknya unsur kesengajaan penghilangan nyawa, kekerasan seksual dan
kekerasan fisik yang dialami korban. Pemeriksaan forensik ini merupakan bagian
penting dari upaya mengungkap kejahatan berlapis terhadap anak.
4. Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Pariwisata dan selanjutnya di tingkat
Daerah Dinas Ketenagakerjaan serta Dinas Pariwisata yang menerbitkan TDUP
harus segera mencabut izin operasional Delta Spa dan seluruh jaringannya, karena
telah melanggar ketentuan hukum ketenagakerjaan dan memperkerjakan anak di
bawah umur. Sesuai dengan Pasal 68 UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
mengenai pelarangan pengusaha mempekerjakan anak dan sanksi pidana serta
administratif yang berlaku, terlebih jika indikasi adanya eksploitasi seksual, langkah
pencabutan izin ini harus didasarkan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang
memberikan dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi tambahan terhadap korporasi
pelaku kekerasan seksual, termasuk pencabutan izin usaha atau pembubaran badan
hukum. Penegakan pasal ini penting untuk menunjukkan bahwa negara tidak
menoleransi eksploitasi anak oleh badan usaha dengan dalih kegiatan ekonomi.
5. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) wajib menjangkau dan
memberikan perlindungan hukum bagi keluarga korban, memastikan tidak ada
tekanan atau paksaan dalam proses pencabutan laporan polisi, serta menjamin hak
korban dan keluarganya atas keadilan dan pemulihan.
6. Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) dan Kompolnas RI harus membentuk tim investigasi independen lintas
lembaga untuk mengawal proses hukum, memastikan adanya akuntabilitas negara,
dan mencegah impunitas bagi pelaku, baik individu maupun korporasi.
7. Presiden Republik Indonesia bersama kementerian terkait, khususnya Kementerian
Ketenagakerjaan, Kementerian PPPA,Kemenparekraf, Kemenkes dan Kementerian
Sosial harus memastikan bahwa tempat-tempat hiburan, spa, dan usaha sejenis tanpa
pekerja anak dan terlindungi dari resiko PMS. Negara melalui K/L harus
memperkuat sistem pengawasan lintas sektor, pencegahan, dan menerapkan
mekanisme perlindungan anak dan pekerja perempuan dijalankan di setiap sektor
ketenagakerjaan dan pariwisata.
Narahubung
KPAI : Ai Maryati Solihah (Whatsapp | +62 85810326422)
LBH APIK Jakarta : Tuani (Whatsapp | +62 81257132791)
Ecpat Indonesia : Andy Ardian ( Whatsapp | +62 81361563988)
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Eksploitasi Anak (KOMPAK)
(Komisi Perlindungan Anak Indonesia, LBH APIK Jakarta, ECPAT, Seknas Jarak, DTZ,
Yayasan Sakura, Yayasan Sejiwa, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Wulansari,
Wisnu)

Tidak ada komentar: