Potret “Kehidupan Layak” Pemulung: Riset untuk Mendorong Aksi Nyata
Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang atau yang biasa disebut sebagai TPST Bantargebang merupakan tempat sampah terpadu terbesar yang ada di Asia Tenggara. Letak TPST Bantargebang berada di Bekasi, Jawa Barat. Secara khusus, TPST Bantargebang adalah tempat untuk mengelola sampah dari DKI Jakarta. Tempat sampah ini setiap harinya beroperasi untuk mengumpulkan, memilah, mendaur ulang, juga memroses akhir sampah. Berdasarkan informasi dari kanal resmi milik Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, TPST Bantargebang sudah beroperasi sejak tahun 1989 dengan nama awal adalah Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang.
Mulanya, alasan dari pembuangan sampah dari wilayah DKI Jakarta ke wilayah Bekasi adalah atas dasar kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi. Hingga kini, Jakarta masih bergantung pada TPST Bantargebang. Tercatat bahwa setiap harinya volume sampah yang dikirimkan ke wilayah Bantargebang berada di angka 7.800 ton. Luas wilayah dari TPST Bantargebang mencapai 117,5 hektar. Dengan luas wilayah tersebut, diperkirakan bahwa sebanyak 39 juta ton sampah telah memenuhi hampir 80% bagian lahan dari TPST Bantargebang.
Luasnya wilayah TPST Bantargebang dan banyaknya volume sampah yang dikirimkan dari DKI Jakarta setiap harinya membuat wilayah Bantargebang menjadi daya tarik bagi para pemulung untuk mengumpulkan barang-barang yang masih memiliki nilai jual. Berdasarkan data yang dirilis oleh Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) mengungkapkan bahwa jumlah pemulung yang terdata pada 29 provinsi di Indonesia sebanyak 4.235.610 orang. Sebanyak 762 diantaranya adalah pemulung yang bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 6.360 pemulung lainnya bekerja di Unit Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang (UPST).
Di tahun 2025, tepatnya bulan Juli hingga Agustus, JARAK yang menjadi bagian Indonesia Recovered Fibre Initiative (IRFI) melakukan upaya kolaboratif yang diinisiasi oleh Earthworm Foundation/ Yayasan Hutan Tropis bersama para pihak, serta didukung oleh Fair Circularity Initiative (FCI) dan Systemiq melakukan survei terhadap pendapatan layak (living wage) dari para pemulung yang ada di Indonesia, khususnya di wilayah Bekasi dan Bantargebang.
FCI memiliki program yang berfokus pada riset pemulung di sektor informal. Dengan hadirnya UN Plastics Treaty (Perjanjian Plastik PBB), sebuah perjanjian global yang diinisiasikan oleh PBB untuk menghentikan polusi sampah plastik melalui pengaturan pada siklus plastik secara penuh. Perjanjian ini diharapkan dapat menyediakan dukungan bagi negara-negara berkembang yang masih memiliki ketergantungan pada sektor informal dalam pengelolaan sampah. Untuk mengetahui kehidupan pemulung di sektor informal ini, dilakukan survei terhadap pendapatan layak dan kehidupan dari para pemulung khususnya yang berada di Indonesia, khususnya di wilayah Bekasi.
Pendapatan atau penghasilan layak dapat didefinisikan sebagai penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup dengan seluruh komponen yang esensial bagi kehidupan yang lebih bermartabat. Konsep pendapatan layak ini juga menegaskan pada hak setiap individu untuk memperoleh pendapatan yang memungkinkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar, menjalankan kehidupan yang lebih bermartabat, serta terbebas dari lingkaran kemiskinan.
Konsep pendapatan layak secara singkat dapat dikatakan sebagai jumlah dari seluruh biaya rumah tangga untuk memperoleh standar kehidupan yang lebih layak. Dalam mengukur pendapatan layak, FCI menggunakan pendekatan bernama Anker Methodology. Anker Methodology ini adalah sebuah pendekatan penelitian yang digunakan untuk menghitung living wage (upah layak) dan living income (pendapatan layak) menurut standar yang cukup rinci dan adil. Terdapat beberapa aspek pada Anker Methodology untuk menghitung living wage atau living income ini, yaitu:
1) Pola makan sehat (B1), yakni pembiayaan untuk makanan yang bergizi,
2) Perumahan yang layak (B2), yakni di dalamnya termasuk pada nilai rumah yang ditempati oleh pemiliknya dan biaya utilitas (listrik, air), biaya pemeliharaan rumah, serta pajak dari rumah yang ditempati,
3) Kesehatan (B3), yakni biaya layanan dalam memperoleh kesehatan,
4) Pendidikan (B4), yakni biaya pendidikan dan kebutuhan yang mendukung pendidikan,
5) Biaya pekerjaan yang layak (B5), yaitu biaya untuk peralatan keselamatan kerja dan biaya transportasi aman ke tempat kerja,
6) Tabungan untuk biaya yang tidak terduga (B6), yaitu biaya yang disimpan dan diperkirakan sekitar 10% dari total pengeluaran lainnya.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pendapatan layak = B1 + B2 + B3 + B4 + B5 + B6.
Dengan kata lain, konsep pendapatan layak bukan hanya mengenai gaji minimum yang diterima oleh pekerja, tetapi juga merupakan jumlah keseluruhan biaya yang dibutuhkan rumah tangga rata-rata untuk bisa hidup dengan standar yang layak dan bermartabat. Secara sederhana, pendapatan yang layak tersebut mencakup pada 3 hal yakni:
1) Kebutuhan dasar, yang di dalamnya termasuk pada makanan sehat dan bergizi, perumahan yang layak, biaya kesehatan, dan pendidikan.
2) Biaya pekerjaan yang aman, yang di dalamnya termasuk pada biaya APD (alat pelindung diri) dan transportasi ke tempat kerja.
3) Cadangan finansial, yang di dalamnya terdiri dari biaya darurat yang dapat digunakan untuk pengeluaran tak terduga.
Pertanyaan-pertanyaan survei pada sesi wawancara bersama dengan informan, tentunya banyak memperdalam permasalahan mengenai pendapatan layak anak. Mulai dari bagaimana latar belakang dan sudah berapa lama mereka berprofesi sebagai pemulung, jumlah keluarga, dari mana saja mendapatkan sampah, berapa hari dan berapa jam setiap harinya memulung sampah, bagaimana menjual sampah hasil memulung, jumlah pendapatan sehari-hari, komponen sampah yang dikumpulkan, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kehidupan sehari-hari, dan lainnya.
Pada saat wawancara mengenai pendapatan layak dan memperdalam latar belakang mengapa mereka memutuskan menjadi pemulung, ditemukan sejumlah alasan yang menarik untuk dicari tahu lebih lanjut. Banyak dari informan yang mengatakan bahwa mereka mulanya terlibat pada pemulung dan menjadi pemulung hingga saat ini karena sejak masih kecil, mereka sudah diajak oleh orang tua untuk merantau ke Bekasi dan Bantargebang. Lalu karena hal tersebut, mereka sudah dilibatkan untuk membantu orangtuanya yang berprofesi sebagai pemulung. Hal itu yang kemudian menyebabkan mereka merasa sudah nyaman dan betah untuk tinggal dan menetap menjadi pemulung hingga saat ini. Bahkan, ditemukan cukup banyak informan yang mengatakan bahwa dirinya sudah memulung sekitar 20 tahun lebih. Ada juga pemulung yang menjelaskan bahwa dirinya sudah memulung sejak usia 7 tahun. Alasan mereka terlibat menjadi pemulung juga dikarenakan permasalahan ekonomi, serta untuk membantu keluarga mendapatkan penghasilan yang digunakan untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari.
Mereka juga menyampaikan bahwa rata-rata pendapatan mereka perhari berkisar di angka Rp 80.000 – Rp 100.000. Pernyataan mereka mengenai pendapatan yang diterima ini cukup menarik untuk dibandingkan dengan standar pendapatan yang berada di wilayah Kota Bekasi. Bila dibandingkan dengan upah minimum Kota Bekasi, pendapatan pemulung sangat memprihatinkan. Di tahun 2025 Upah Minimum Region (UMR) Kota Bekasi berada di angka Rp 5.690.752. Sementara, bila pendapatan pemulung rata-rata perharinya adalah Rp 100.000. Maka, sebulan ia hanya mengantongi Rp 3.000.000. Dari fakta ini, terlihat bahwa kehidupan yang layak sesuai standar hidup di Bekasi dengan kenyataan pendapatan dari pemulung sangat berbanding terbalik dan sangat jauh dari kata layak. Apalagi rata-rata rumah tangga pemulung berisikan sekitar 3 – 4 orang.
Jumlah pendapatan pemulung tersebut, menurut mereka jauh dari kata cukup, terlebih untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, makan, dan kebutuhan sekolah anak setiap harinya. Walaupun sudah banyak sekolah negeri yang menawarkan pendidikan secara gratis, tetapi kebutuhan sekolah anak tidak bisa dihilangkan begitu saja. Masih ada kebutuhan uang saku untuk jajan, biaya mengantar anak sekolah, dan kebutuhan sekolah lainnya yang tidak ditanggung oleh pemerintah.
Berkaitan dengan permasalahan pendapatan dan sekolah, hingga saat ini, masih ditemukan bahwa terdapat informan yang memiliki anak dan putus sekolah karena kurangnya sumber daya, kurangnya motivasi, dan kemauan anak untuk belajar. Lalu, anak tersebut memilih membantu orang tuanya memulung di wilayah Bantargebang untuk menambah ekonomi dan penghasilan keluarga. Disampaikan oleh informan bahwa keluarganya mengalami kesulitan ekonomi yang membuat anaknya harus berhenti sekolah di tengah jalan dan perlu bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Fakta-fakta yang disebutkan mengenai keterlibatan mereka sejak kecil memerlukan perhatian mendalam. Hal ini juga menunjukkan bahwa kehidupan dan pendapatan dari pemulung jauh dari kata “layak”. Sebab, pendapatan yang diterimanya jauh dari standar minimum yang ada di Kota Bekasi dan anak masih dilibatkan untuk berperan membantu ekonomi keluarganya. Perlu ada perhatian secara khusus mengenai permasalahan ini. Apalagi hingga saat ini, wilayah tersebut juga banyak memiliki generasi penerus yang notabennya masih kategori anak.
Dengan latar belakang dan beberapa fakta cerita dari informan tersebut menunjukkan bahwa di wilayah Bantargebang bukan hanya permasalahan pendapatan layak saja yang membutuhkan perhatian, tetapi juga keterlibatan anak menjadi pekerja anak pun masih nyata dan rentan terjadi. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang rentan, adanya keterbatasan ekonomi keluarga dan pendapatan serta kehidupan mereka yang tidak layak membuat anak memiliki risiko yang besar dan terjebak dalam pekerjaan sebagai pemulung. Situasi ini membutuhkan perhatian yang lebih serius dan upaya kolaboratif bersama baik dari pemerintah, lembaga masyarakat, dan masyarakat sipil lainnya melalui program-program pemberdayaan, agar isu pekerja anak di sektor pemulung tidak semakin meluas dan dapat segera diminimalisir bahkan ditanggulangi melalui kebijakan dan intervensi yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
Beberapa intervensi yang sudah dilakukan oleh sejumlah pihak dalam aspek sosial untuk meningkatkan martabat, akses pendidikan, dan integrasi sosial bagi pemulung dan keluarganya sudah diinisiakan oleh beberapa yayasan, diantaranya yaitu:
1) Yayasan KDM (Kampus Diakoneia Modern)
Yayasan KDM menyediakan rumah singgah, menyediakan sekolah non-formal, dan pelatihan keterampilan bagi anak pemulung yang berada di Bintara Jaya. Dampak dari kegiatan yang mereka lakukan adalah untuk mencegah anak putus sekolah dan secara jangka panjang bertujuan dapat memutus rantai kemiskinan.
2) Yayasan Sahabat Anak
Yayasan Sahabat Anak memberikan pendidikan informal dan beasiswa kepada anak pemulung di Bekasi dan Jakarta Timur. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk meningkatkan literasi serta kepercayaan diri dari anak-anak pemulung.
3) Waste4Change
Waste4Change memberikan program pembinaan bagi pemulung dengan sistem kemitraan dan koperasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat harga jual sampah lebih adil dan transparan. Sehingga dampaknya ke depan adalah pemulung tidak lagi bergantung dengan pengepul yang bersifat seperti tengkulak dan memainkan harga menjadi cenderung rendah.
Pihak swasta dan pelaku bisnis juga diharapkan dapat memberikan kontribusinya untuk menangani permasalahan yang terjadi di Bantargebang tersebut. Program yang dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pelaku bisnis bukan hanya sekadar memberikan CSR atau charity saja. Akan tetapi, diharapkan benar-benar mengedepankan strategi bisnis yang lebih berkelajutan. Pihak swasta dan pelaku bisnis harus menempatkan bahwa isu pemulung dan adanya indikasi keterlibatan anak menjadi pekerja anak di sektor pemulung ini sebagai bagian dari tanggng jawab rantai pasok mereka. Berikut adalah beberapa hal yang perlu pihak swasta dan sektor bisnis perlu lakukan diantaranya, yaitu:
1) Memberikan pelatihan kepada pemulung untuk meningkatkan keterampilannya.
2) Memastikan transisi ekonomi sirkular tidak hanya menguntungkan industri daur ulang saja tetapi juga melibatkan pemulung agar dapat meningkatkan penghasilan layak mereka.
3) Mengadopsi kebijakan zero child labour (nol pekerja anak) pada setiap rantai pasoknya. Jika ditemukan perusahaan wajib membantu melakukan remediasi dengan memberikan anak pendidikan dan dukungan bagi keluarga.
4) Membangun community learning center di wilayah TPST Bantargebang, sehingga anak pemulung dapat mengakses layanan pendidikan dasar dan menyediakan beasiswa untuk mendukung anak agar bisa melanjutkan pendidikannya.
Temuan riset penghasilan pemulung serta adanya berbagai intervensi yang dilakukan bagi pemulung dapat menjadi bagian untuk menyerukan kebijakan yang memberikan penghasilan dan kehidupan yang layak bagi pemulung. Selain itu, anak-anak pemulung memperoleh hak, dan perlindungan, serta tumbuh di lingkungan yang sehat karena keluarganya memperoleh kehidupan yang layak. Kontributor: ZHM.
Tidak ada komentar: