Kehidupan Pemulung dan Perannya dalam Ekonomi Sirkular
Pemulung merupakan salah satu pekerjaan informal yang sangat familiar bagi masyarakat di Indonesia, hampir di berbagai tempat aktivitas sehari - hari kita dapat dengan mudah menemukan keberadaan pemulung misalnya di jalanan, komplek/ perumahan, sekitar perkantoran dan terutama yang pasti banyak ditemui adalah di tempat pemrosesan akhir sampah (TPA). Walaupun pekerjaan pemulung ini masih dianggap rendah dan dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat akan tetapi jumlahnya cukup banyak khususnya di kota-kota besar seperti di sekitar Jabodetabek. Jika kita merujuk pada informasi terkait data jumlah pemulung yang bersumber dari Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), tercatat sekitar 4,2 juta pemulung di Indonesia. Angka ini hampir sama dengan data yang dikumpulkan oleh Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) dari 29 provinsi. Jumlah pemulung terdata sebanyak 4.235.610 orang, termasuk lebih dari 762 ribu pemulung bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan 6.360 pemulung di Unit Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang (UPST). Untuk mengetahui kehidupan pemulung ini dilakukan sebuah survei pendapatan layak/ Living Wage Survey untuk sektor pemulung. Kegiatan ini merupakan bagian dari Indonesia Recovered Fibre Initiative (IRFI), upaya kolaboratif yang diinisiasi oleh Earthworm Foundation/ Yayasan Hutan Tropis bersama para pihak, serta didukung oleh Fair Circularity Initiative dan Systemiq.
Survei yang bertujuan untuk mengetahui pendapatan pemulung dan memperhitungkan upah layak ini dilaksanakan selama satu bulan ini (Juli - Agustus) dengan fokus wilayah Kota Bekasi. Survei menggunakan metode wawancara langsung (depth interview) kepada 40 orang pemulung sebagai responden. Selama kurang lebih selama dua minggu tim JARAK melaksanakan wawancara dan menemui langsung pemulung yang bekerja di sekitar Sumur Batu, Bantar Gebang, Jatiasih, Bintara dan Bintara Jaya. Dari proses wawancara tersebut diperoleh data dan informasi kondisi kehidupan para pemulung. Informasi situasi dan kondisi kerja (jam kerja, aktivitas memulung, jumlah pendapatan, kondisi tempat tinggal dan kebutuhan anggota keluarga) digali untuk menghitung kondisi saat ini dan kondisi kehidupan yang layak bagi mereka.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar pemulung yang melakukan pekerjaannya di sekitar wilayah kota Bekasi dan lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang bukan penduduk asli Bekasi. Sebagian besar pemulung merupakan pendatang yang berasal dari berbagai daerah di wilayah Jawa Barat seperti Karawang, Cikarang, Cikampek dan dari Pandeglang Banten. Karena bukan warga asli, mereka rata - rata bertempat tinggal di rumah bedeng atau gubuk dengan biaya sewa bulanan relatif murah (Rp.200.000 – 350.000) dan kondisi seadanya di sekitar wilayah yang dekat dengan tempat lokasi mereka mengumpulkan rongsokan.
Para pemulung mulai beraktivitas dari jam 6 pagi sampai jam 4-5 sore, tetapi ada juga yang berangkat memulung dari jam 4 sore sampai jam 6 pagi esok harinya, jika dikalkulasi rata – rata jam kerjanya lebih dari 8 jam. Beberapa pemulung memilih untuk mencari rongsokan malam hari karena lebih nyaman karena hawa yang lebih dingin. Rata-rata pemulung mampu mengumpulkan 4-5 kuintal rongsokan dengan berbagai jenis barang yang masih mempunyai nilai/ berharga (botol plastik, kertas/karton, alumunium, besi dll). Dari sejumlah barang rongsokan yang berhasil dikumpulkan tersebut kemudian mereka jual ke lapak dengan harga berkisar 600-800 rupiah per kg. Rata – rata pendapatan perbulan berkisar 2 – 3 juta rupiah. Berdasarkan ketentuan upah minimum regional yang tercantum di dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561.7/Kep.798-Kesra/2024 bahwa UMP Jawa Barat 2,1 juta, UMK Kota Bekasi 5,69 juta dan Kabupaten Bekasi 5,5 juta. Jika dibandingkan dengan penghasilan pemulung setiap bulannya masih jauh dari ketentuan angka upah minimum yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tersebut. Dari gambaran situasi dan kondisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemulung belum mendapatkan penghidupan yang layak.
Saat ini Pemerintah melakukan upaya besar untuk mengurangi volume sampah yang ada khususnya sampah plastik dengan melibatkan pihak produsen. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang mengeluarkan peraturan mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 Tahun 2019 (PermenLHK No.P.75/2019), Pemerintah ingin melibatkan pihak produsen secara aktif untuk melakukan pengurangan volume timbunan sampah sebesar 30% yang ditargetkan bisa dicapai sampai tahun 2029. Hal ini merupakan terobosan baru yang dilakukan oleh Pemerintah selain upaya – upaya lainnya yang sudah dilakukan terlebih dulu misalnya melalui pendirian bank sampah di lingkungan tempat tinggal warga. Walau pendekatan bank sampah dianggap dapat berkontribusi untuk mengurangi sampah, hal ini menjadi problem tersendiri karena kemunculannya justru dianggap sebagai kompetitor baru bagi pemulung yang mengandalkan kehidupannya dari sampah.
Dalam konteks mendorong ekonomi sirkular keberadaan pemulung juga ternyata mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya pengendalian sampah khususnya untuk melakukan daur ulang. Sebuah peran yang positif meskipun terkadang keberadaan pemulung masih belum dianggap dan dipandang sebelah mata. Pola aktivitas para pemulung dimulai dengan mengumpulkan sampah yang masih mempunyai nilai jual dan bisa didaur ulang, kemudian dipilah dan dijual kepada pelapak/pengepul. Selanjutnya dikirim ke pabrik – pabrik daur ulang untuk dicacah dan diolah. Aktivitas pemulung ini secara tidak langsung mendukung penerapan ekonomi sirkular di Indonesia.
Peran pemulung sangat penting untuk pengelolaan sampah yang komprehensif harusnya dapat mendorong semua pihak khususnya pemerintah dapat memberikan perhatian serius kepada mereka. Hasil survei menunjukkan bahwa masih banyak para pemulung masuk dalam rantai kemiskinan, termasuk terjerat dalam pinjaman dengan bunga tinggi dan situasi kerja eksploitatif. Rendahnya harga barang bekas/ rongsokan yang dijual kepada pelapak/ pengepul, minimnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh para pemulung, rendahnya pendidikan mereka menjadi faktor – faktor yang mempengaruihi ketidakberdayaan pemulung untuk keluar dari situasi kemiskinan. Peran berbagai pihak untuk memberikan perhatian serius kepada para pemulung sangat diharapkan agar mereka lebih berdaya dan memperoleh kehidupan layak seperti pekerja lainnya di Indonesia. (by.rto)
Tidak ada komentar: