Header Ads

Breaking News
recent

Mendeteksi Eksploitasi Seksual Anak Melalui Pendekatan Sistem Keuangan

Eksploitasi Seksual Anak (ESA) secara umum merupakan bentuk pelecehan seksual anak dan bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi anak yang serius. Hal ini terjadi ketika individu atau kelompok memanfaatkan ketidakseimbangan kekuasaan untuk memaksa, memanipulasi atau menipu seorang anak agar terlibat dalam aktivitas seksual. ESA tidak selalu melibatkan kontak fisik, tetapi dapat terjadi melalui penggunaan teknologi. ESA kini telah berkembang menjadi bentuk kejahatan dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial, dilakukan dengan memaksa atau memanipulasi anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang kemudian dikomersialisasi dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk ESA antara lain, Sextortion (pemerasan seksual online), Live streaming child sexual abuse (kekerasan seksual anak melalui siaran langsung), Child Sexual Abuse Material/ CSAM (Pornografi anak), Grooming (bujuk rayu untuk tujuan sexual), Sexual Exploitation Children in Travel and Tourism/ SECTT (eksploitasi seksual anak dalam konteks perjalanan dan pariwisata), Love Scams (Penipuan asmara) dan Cyberbullying.

Pelatihan Penguatan Peran Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Pencegahan dan Penanganan Eksploitasi Seksual Anak Melalui Pendekatan Sistem Keuangan dilaksanakan selama 2 hari mulai tanggal 9 – 10 Desember 2025 pukul 08.00 – 16.30 WIB, bertempat di Pusdiklat APU PPT PPATK (Jln. Raya Tapos No. 82 Cimpaeun, Kec. Tapos, Kota Depok, Jawa Barat). Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Pusdiklat APU/PPT PPATK Bpk. Akhyar Effendi. Narasumber yang hadir: Tri Andriyanto (AATKI), Eneng Deti (UPT PPPA DKI Jakarta), Haryono Pamungkas (AATKI), Fatima Azzahra (Wise), Oviani Fathul Janah (ECPAT), Ahmad Sofian (ECPAT) dan Agung Basuki (AATKI). Pelatihan ini terselenggara berkat dukungan Asosisasi Analis Transaksi Keuangan Indonesia) dan ECPAT Indonesia.

Kasus ESA meningkat secara signifikan, terutama dalam bentuk digital/online. Data nasional menunjukkan 500.000 anak menjadi korban eksploitasi atau pelecehan seksual daring dalam satu tahun (UNICEF, 2022), 28.831 kasus kekerasan terhadap anak tercatat sepanjang 2024 (SIMFONI-PPA) dan banyak pembayaran dilakukan melalui e-wallet, mule account, crypto wallet, pulsa, gift card, sehingga memiliki karakteristik tindak pidana pencucian uang (TPPU). Transaksi keuangan yang terkait dengan kejahatan ini terus mengalami peningkatan karena dipicu berbagai faktor sosial dan ekonomi serta didorong oleh pesatnya perkembangan teknologi. Aktivitas tersebut terjadi melalui sistem keuangan perbankan formal, layanan pengiriman uang, dan pertukaran mata uang kripto, serta sering kali disertai dengan praktik pencucian uang untuk menyamarkan hasil kejahatannya.

Pola ini menunjukkan bahwa kejahatan seksual terhadap anak tidak hanya berbasis fisik/digital, tetapi juga terkait dengan aliran dana ilegal yang disamarkan. NGO sering menjadi pihak pertama yang mengetahui indikasi ESA, sehingga pelaporan NGO menjadi krusial bagi PPATK. Sesuai peranan PPATK sebagai Financial Intelligence Unit (FIU), pihak PPATK memiliki mandat untuk menerima laporan transaksi mencurigakan, menganalisis dan mengevaluasi aliran dana, serta menyampaikan hasil analisis kepada aparat penegak hukum. Dengan dasar kewenangan UU No. 8 Tahun 2010 (TPPU), Pasal 40–44 (penerimaan dan analisis laporan), ESA merupakan predicate crime karena mengandung unsur perolehan dana dari tindak pidana yang diancam pidana ≥ 4 tahun (Pasal 2).

NGO sangat berperan penting untuk mengungkap kasus-kasus ESA karena menjadi pihak pertama yang mengetahui laporan korban/komunitas dan memiliki data lapangan dan konteks sosial yang tidak dimiliki lembaga keuangan. Informasi NGO dapat melengkapi analisis transaksi keuangan PPATK, terutama terkait pelaku, korban & modus. Berdasarkan pengalaman, pelaporan NGO terbukti mempercepat pengungkapan jaringan, pemblokiran dana, dan penyelamatan korban. Jika deteksi berbasis komunitas ini dilakukan, maka menjadi informasi penting karena sebagian besar transaksi ESA bersifat kecil, berulang, informal, dan tersebar. Peserta pelatihan juga dibekali cara melaporkan kasus agar dapat dianalisis secara optimal oleh PPATK. Beberapa infomasi yang perlu dikumpulkan oleh NGO, meliputi: Identitas pelaku/terduga, Informasi Korban (dengan prinsip perlindungan identitas, Modus Eksploitasi, Informasi Keuangan, Bukti Pendukung.

Di penghujung sesi, peserta diminta untuk merumuskan rencana tindak lanjut yang bisa dilakukan agar informasi ini tidak berhenti di ruang pelatihan tetapi dapat tersampaikan lebih luas di jaringan NGO maupun masyarakat.

Kontributor: A.P.

Tidak ada komentar:

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.