Diseminasi Catatan Kebijakan Percepatan Penanggulangan Pekerja Anak di Sektor Pertanian
Fenomena pekerja anak di Indonesia masih perlu mendapat perhatian khusus. Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) memperkirakan bahwa pada 2021 masih ada sekitar 1,4 juta anak usia 5-17 yang menjadi pekerja anak. Penanggulangan pekerja anak merupakan tantangan berat yang memerlukan kerja sama dan koordinasi erat antara berbagai pihak mengingat kompleksitas permasalahan yang mendasari munculnya pekerja anak. Sebaran pekerja anak antar provinsi yang tidak merata, konsentrasi pekerja anak pada sektor-sektor tertentu seperti sektor pertanian hingga permasalahan pada ketersediaan dan keakuratan data adalah sebagian dari kompleksitas permasalahan tersebut.
Seiring dengan berakhirnya periode Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak 2014-2022, dan untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (RAN-PBPTA) maka saat ini para pemangku kepentingan sedang menyusun Peta Jalan menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak (IBPA) periode 2023-2030. Sebagai bentuk dukungan bagi penyusunan IBPA 2023-2030 tersebut, The SMERU Research Institute (SMERU) bekerja sama dengan Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak (JARAK) merumuskan Catatan Kebijakan Percepatan Penanggulangan Pekerja Anak di Sektor Pertanian. Catatan kebijakan ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk bahan penyusunan Peta Jalan IBPA tersebut. Masukan dari catatan kebijakan ini secara khusus ditujukan bagi penanggulangan pekerja anak di sektor pertanian, namun secara umum juga dapat digunakan sebagai masukan untuk penanggulangan pekerja anak di sektor lainnya. Sebagian besar bahan penyusunan catatan kebijakan ini disarikan dari hasil diskusi selama “Konferensi Nasional Membangun Kemitraan Menuju Pertanian Indonesia Tanpa Pekerja Anak” yang diselenggarakan di Jakarta pada 28-30 Juni 2022. Untuk memperkuat dan memperkaya catatan kebijakan ini, maka berbagai sumber data dan bahan-bahan lainnya juga digunakan.
Kegiatan ini bertujuan untuk memaparkan draf catatan kebijakan kepada para pemangku kepentingan di bidang penanggulangan pekerja anak serta mengidentifikasi potensi perbaikan serta penyempurnaan draf catatan kebijakan tersebut. Pertemuan ini juga mendiskusikan peluang pemanfaatan catatan kebijakan bagi penyusunan Peta Jalan IBPA 2023-2030, memfasilitasi dialog kebijakan tentang isu pekerja anak diantara pemangku kepentingan yang meliputi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, mitra pembangunan dan sektor swasta.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 27 Juli 2023 ini menghadirkan Rizki Fillaili sebagai peneliti dari The SMERU Research Institute sedangkan sebagai penanggap dari berbagai kalangan antara lain: Yuli Adiratna, S.H., M.Hum (Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan), Abdul Hakim (Programme Officer, ILO), dan Sumarjono Saragih (Koordinator Bidang Ketenagakerjaan GAPKI).
Selain itu hadir juga Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah serta perwakilan dari Kementerian lainnya yaitu KPPPA, Kemensos, Kemnaker dan juga perwakilan NGO dari ECPAT Indonesia dan Plan Indonesia.
Respons yang disampaikan oleh para penanggap, diantaranya Abdul Hakim menyoroti bahwa Indonesia sebenarnya mempunyai kekuatan dalam upaya penghapusan pekerja anak akan tetapi perlu ada dukungan dari semua pihak khususnya pemerintah daerah dan masih ada juga tantangannya yaitu belum otptimalnya keterlibatan bipartit (pengusaha dan serikat buruh) dan juga terkait tantangan perluasan upaya penghapusan pekerja anak ke subsektor pertanian lainnya.
Point tanggapan selanjutnya dari Sumarjono Saragih menyampaikan bahwa sudah ada praktik baik Sawit Indonesia Ramah Anak yang menyediakan dukungan bagi anak-anak dari pekerja di perusahaan sawit. Akan tetapi, masih saja perusahaan sawit diisukan melanggar peraturan yang melarang mempekerjakan anak-anak.
Tanggapan Yuli Adiratna menyampaikan bahwa Pemerintah sedang mengembangkan peta jalan bebas pekerja anak. Salah satu strategi yang dilakukan adalah mengembangkan kerja sama dengan berbagai institusi (misal: dunia usaha dan dunia industri, NGO) karena permasalahan pekerja anak adalah permasalahan multisektor. Hal ini dilakukan untuk mencapai Indonesia Bebas Pekerja Anak 2045.
Sementara itu pada sesi diskusi Woro Srihastuti memberikan tanggapannya, bahwa apakah catatan kebijakan yang fokusnya pada sektor pertanian ini sudah bisa untuk dijadikan dasar dalam penyusunan peta jalan bebas pekerja anak yang sedang disusun oleh Pemerintah? Terutama dalam merepresentasikan karakteristik dari sektor nonpertanian. Mungkin akan diperlukan kebijakan di luar isu ketenagakerjaan dan juga bagaimana memastikan pekerja anak tetap dapat mengakses layanan dasar yang disediakan secara terintegrasi.
Sedangkan Ketua KPAI Ibu Ai Maryati menyampaikan tanggapannya bahwa sektor pertanian penting untuk dipahami sebagai indikator penting untuk membaca landskap dari situasi pekerja anak di Indonesia, namun belum ada temuan yang menangkap dinamika pada masa sebelum dan selama pandemi. Perlu diperhatikan nexus antara anak-anak yang berada di pekerjaan formal dengan yang bekerja di bentuk pekerjaan terburuk (bentuk pekerjaan merujuk pada peraturan ketenagakerjaan) agar situasi yang ditangkap lebih holistik. Ai Maryati juga menyampaikan bahwa penguatan keluarga dan individu anak sangat penting untuk mendukung upaya penghapusan pekerja anak.
Merespons masukan para penanggap dan peserta, Rizki Filaili menyampaikan beberapa hal, yaitu masukan yang masih menjadi PR besar berkaitan tentang ambiguitas yang muncul terkait bagaimana catatan kebijakan bisa menjadi input untuk lanskap pekerja anak secara keseluruhan. Hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut dengan PACLAA dan JARAK. Masukan terkait dunia usaha relevan untuk mengisi gap dalam menyusun rekomendasi di bagian akhir dan akan ada follow up dari temuan di laporan oleh KPAI dan PAACLA untuk memperkaya catatan kebijakan terutama terkait isu perubahan iklim.
Kontributor: Rachmat Taufik
Tidak ada komentar: